Thursday, October 19, 2006

takdir oe...

Sebenernya riskan juga berbicata tentang topik ini. Coz, gak ada kapasitas ilmunya. Tapi setelah dipikir-pikir, gak apa2 lah. Toh lagi belajar memaknai hidup. Dan memaknai takdir juga bagian dari memaknai hidup. Berawal dari definisi takdir, dari wikipedia berbahasa Indonesia, dikatakan bahwa, “Takdir adalah suatu ketetapan akan garis kehidupan seseorang. Setiap orang lahir lengkap dengan skenario perjalanan kehidupannya dari awal dan akhir. Hal ini dinyatakan dalam Qur'an bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap diri seorang sudah tertulis dalam induk kitab (lauhul mahfudz)”.Namun demikian, bukan berarti kehidupan hanya dijalani dengan tindakan pasif. Karena pada dasarnya, Islam juga melarang seseorang bersikap pasif (hanya diam menunggu). Adanya pengertian bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah digariskan oleh sang pencipta, adalah agar seseorang tidak perlu merasa berduka cita secara berlebihan, atas kejadian tidak menyenangkan dalam kehidupannya dan juga tidak perlu merasa bengga secara berlebihan atas keberhasilan yang sudah diraihnya dalam hidup, karena semua itu terjadi atas ijin dan kehendak dari-Nya.

Kalo definisi takdir yang diajarkan waktu madrasah dulu, kira2 gak jauh beda sih. Takdir adalah ketetapan Allah yang telah terjadi. Sedangkan qodho, adalah ketetapan yang belum terjadi. So, ada ruang kompromi dan kebebasan memilih disini (qodho). Hmm.. mungkin inilah dinamika hidup. Ketika bayi baru lahir ke dunia, dia akan menangis kencang (ini untuk bayi yang normal). Kalo dari sisi kesehatan, may be jawabannya karna adanya perubahan kondisi yang dirasakan bayi, antara dalam kandungan ibu dengan alam dunia yang sangat signifikan. Kalo dulu dia merasa nyaman dengan asupan gizi dan makanan yg cukup, serta tempat tidur yg nyaman, kini dia harus banyak menyesuaikan diri dengan kondisi alam barunya yang bisa jadi sangat fluktuatif. Kalo jawaban dari sisi religi yang pernah aku denger, tangisan bayi ketika pertama kali keluar ke dunia, karena kelak dia akan menghadapi banyak hal di alam barunya (mungkin semacam dinamika hidup, sedih, bahagia, gagal, berhasil, susah, senang, dll).Kata2 nyelekit (menyakitkan, red) yang pernah aku denger dari seorang temen yang lagi nasihatin temennya, “kamu kok ngeluh terus sih, kalo kamu milih hidup, ya harus tahan ngadepin hidup dong…kalo nggak, ya jangan milih hidup…”. Ups.. sebenernya gak salah juga sih. Yah, ketika manusia dilahirkan di dunia, emang harus siap dengan segala konsekuensi kehidupan yang dijalaninya, entah saat2 baik ataupun buruk. Dia akan menjalani garis hidupnya, dan tentu saja akan banyak kompromi dan pilihan yang dihadapinya, sebagai bagian ikhtiar yang kelak akan dipertanggungjawabkannya.Berbicara tentang takdir, kali ini pingin ngutip pemikiran cendekiawan, alm. Nurcholis Madjid tentang kemerdekaan manusia (ikhtiar) dan keharusan universal (takdir). Coz, kayaknya pemikiran cak Nur dalam hal ini cukup rasional dalam menjabarkan definisi takdir yang cukup rumit itu. Menurut cak Nur, sebagai makhluk Tuhan, manusia diberi kebebasan untuk memilih sesuatu tanpa paksaan yang didorong oleh kesadaran dan kemauan murninya (ikhtiar). Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan individu sebagai manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi yang memiliki banyak segi integral dan bebas. Manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali keinginannya sendiri.Namun, masih menurut cak Nur, sekalipun kemerdekaan adalah esensi kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas2 kemerdekaan adalah suatu kenyataan dikarenakan adanya hukum Tuhan yang pasti dan tetap yang menguasai alam semesta (sunnatullah). Tapi bukan tidak mungkin kalo hukum alam—sebagai keharusan universal (takdir)—tidak tersingkapkan oleh kemerdekaan pribadi untuk diwujudkan dalam konteks hidup di tengah alam dan masyarakat. Sudah tentu hubungan yang terjadi kemudian bukanlah hubungan penyerahan. Sebab, penyerahan itu berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan sebelum melakukan suatu usaha merupakan perbudakan. Pengakuan akan adanya keharusan universal adalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya, persyaratan positif daripada kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan2 kreatif manusia, yaitu tempat bagi adanya usaha bebas memilih. Jadi, manusia dapat memilih takdirnya ketika ikhtiarnya selaras dengan hukum alam, yang diketahui oleh konsepsi2 rasional maupun tidak.Segala ikhtiar harus dilakukan dengan niat yang ikhlas. Dalam sebuah ayat (lupa jelasnya gimana), Allah menilai usaha hambanya, dan bukan hasilnya. Tentu aja ketika usahanya dilakukan dengan ikhlas. Kewajiaban manusia hanyalah berusaha sekuat tenaganya. Karena takdir (ketetapan Allah yang telah terjadi), adalah bagian dari rahasia Allah terhadap hamba-Nya. Belum sempurna keimanan seseorang, ketika dia tidak mengimani qodho dan qodar, meski keimanannya terhadap lima rukun iman sebelumnya telah sempurna.Takdir itu pasti yang terbaik Pit, itu kata temenku. Setiap kejadian pasti mengandung hikmah, kalaupun tidak sekarang, mungkin entah kapan atau bertahun-tahun yang akan datang. Otak manusia terkadang terlalu dangkal untuk mengetahi maskud Allah menetapkan skenario terhadap hamba-Nya, itu kata bapakku 5 tahun yang lalu.Yah, manusia memang diberi kemerdekaan untuk berikhtiar. Namun tetap Allahlah penentu. Disinilah dia akan merasakan dinamika berikhtiar. Percaya kepada takdir, adalah sebuah keharusan mutlak. Beandai-andai dapat mengulang peristiwa, justru memperlebar ruang masuk setan ke dalam hati. Percaya kepada takdir akan membawa manusia kepada proporsionalitas dan keseimbangan jiwa. Manusia menjadi tidak merasa putus asa dan inferior ketika ikhtiarnya tidak terwujud. Sebaliknya, ia tidak membanggakan diri, merasa congkak, ataupun superior ketika meraih keberhasilan.Wallahu a’lam bishshawab.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home